Minggu, 11 Desember 2011

“The Power of Woman”


“Wanita” atau yang disebut dalam bahasa arab “an-nisa” merupakan sesosok manusia yang sangat mulia kedudukannya.  Bahkan wanita diberikan satu perhatian khusus oleh Allah SWT terbukti dengan adanya surat An Nisa yang merupakan salah satu surat dari 114 surat dalam Al Quran. Membahas keunikan karakteristik seorang wanita sangatlah menarik, mulai dari julukan “wanita tiang negara” sampai “syurga itu dibawah telapak kaki Ibu (seorang wanita tentunya)” dan berbagai sambungan kata yang menggunakan kata “Ibu” sebagai bentuk peng-qiyasan atas sesuatu, for ex: ibu jari, ibu kota, Ibu Negara, etc^_^.
Berbagai kelebihan diatas sangatlah menyanjung seorang wanita.  Namun, apalah artinya semua itu jikalau seorang wanita tak dapat menangkap dan mengenali akan potensi dan bakat alamiah yang di berikan.  Betapa banyak wanita yang belum bisa memaksimalkan potensi serta perannya dalam kehidupan sehari hari.  Sehingga hal inilah yang menimbulkan banyak persepsi pesimistis tentang eksistensi wanita.
Faktanya!!!!!??????
Sebelum kita membahas lebih jauh, ada baiknya sedikit kita ulas bagaimana sebenarnya posisi wanita dalam sejarah. Andi Syamsu Rijal menjelaskan dalam sebuah artikelnya yang berjudul “peranan perempuan dalam historiografi indonesia” bahwasannya Masyarakat umum telah mengetahui bahwa istilah wanita “tersembunyi” dalam sejarah (Hidden from history). Pandangan ini tidak lain disebabkan oleh penelitian dan penulisan sejarah yang cenderung pada masalah sekitar politik dan kekerasan yang menurut Kuntowijoyo dalam bukunya Metodologi Sejarah, merupakan “dua hal yang selalu menjadi milik kaum laki-laki”. oleh karena itu rekonstruksi sejarah kita bercorak androsentris, karena sejarah berpusat pada kegiatan kaum laki-laki”. Hal ini pun kemudian oleh Ann D. Gordon dkk dalam artikelnya yang berjudul “The Problem of Women’s History”. Dimana dikatakan bahwa sejarawan mengabaikan kaum wanita karena dalam pikiran mereka yang signifikan adalah yang nyata di bidang politik dan ekonomi. Laki-laki aktif dan wanita pasif; kehidupan wanita dianggap timelessness tak dibatasi oleh waktu-berpusat pada mengandung dan memelihara anak dalam lingkungan keluarga. Gambaran masa lalu semacam itu tentu saja tidak adil, karena melihat wanita sebagai second sex semata-mata.
Terlebih lagi, bagaimana kita harus memendam begitu lama kisah tragis perlakuan terhadap wanita sejak zaman dahulu dimana hal tersebut membawa traumatic tersendiri kepada generasi wanita selanjutnya dan mewariskan generasi pesimistis, lebih nyaman dengan sikap pasrah lan nrimo.  Bayangkan saja, dimana peradaban dunia telah menjadi saksi dan sejarah telah mencatat peristiwa kelam ini, atas perlakuan tidak terhormat kepada kaum wanita.
Dalam sejarah Yunani misalnya, wanita-wanita mulia disekap dalam istana, sementara kalangan bawah di perjualbelikan dari satu pria ke pria lain. Di lingkungan bangsa Romawi, para wanita berada dalam kekuasaan ayahnya. Bila sudah menikah, mereka berpindah ke tangan sang suami. Kekuasaan ini mencakup kewenangan menjual, mengusir, menganiaya dan membunuh. Lain lagi nasib para wanita bangsa arab masa jahiliyah, setiap bayi yang dilahirkan dan berjenis kelamin wanita maka tak akan diberi hak hidup dengan cara dikubur secara hidup hidup karena bayi wanita hanya dianggap aib dan membuat mereka malu. Sedangkan, Peradaban Hindu dan Cina tidak lebih baik dari bangsa-bangsa di atas. Kehidupan kaum wanita harus berakhir bersamaan dengan meninggalnya sang suami. Si istri harus rela dibakar hidup-hidup berbarengan dengan dibakarnya mayat sang suami. Dalam ajaran Yahudi, martabat kaum wanita sama dengan pembantu. Apabila tidak mempunyai saudara laki-laki, sang bapak berhak menjualnya. Di samping itu, wanita diangggap sebagai sumber laknat karena wanitalah Adam terusir dari surga. Demikian pula kaum Nasrani, mereka menganggap wanita adalah senjata iblis untuk menyesatkan manusia.
Sungguh sama sekali tak ada ruang keadilan untuk kaum wanita berabad abad lamanya. seolah olah wanita adalah objek daerah jajahan.  Namun setelah Islam datang posisi wanita dimata ummat berubah drastis, Islam datang dengan ajarannya yang begitu sempurna dan sangat memuliakan wanita. 
Begitu banyak kehebatan wanita/muslimah yang yang tercatat dalam sejarah Islam, diantaranya sang Ibunda Siti Khadijah, sang cinta pertama Nabi SAW.  Sesosok janda cantik yang kaya raya dan termasuk dalam golongan assabiqunal awwalun, seorang milyuner yang rela mendermakan hartanya demi dakwah dijalan Allah,  seorang istri yang sangat setia kepada suami serta mendukung penuh perjuangan suaminya (Nabi SAW).  ‘Aisyah binti Abi Bakar, juga istri Rasulullah SAW, adalah perawi al-Hadits hebat karena meriwayatkan Hadits tidak kurang dari 2210 Hadits.
Asy-Syifa (Ummu Sulaiman), seorang guru wanita pertama dalam Islam (salah satu muridnya adalah Hafshah binti Umar, istri Rasulullah SAW), penasihat Khalifah Umar bin Khaththab. Ada juga Rufaidah, yakni seorang pendiri rumah sakit pertama zaman Nabi Muhammad SAW. Sedangkan mengerucut Indonesia, ada Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, Walandouw Maramis, S.K Trimurti Nyi Ageng Serang, Pocut Meurah Intan, dan lain sebagainya sudah banyak
dijumpai dalam historiografi Indonesia, terutama Ibunda RA. Kartini yang terkenal dengan emansipasi wanitanya. Dan masih banyak lagi reputasi hebat dari kaum hawa lainnya.  Lalu bagaimana kondisi kaum wanita saat ini, sepengamatan penulis nampaknya belum terlalu berubah baik dari zaman dahulu, terlihat dari bagaimana kisah tragis para TKW wanita yang mendapat perlakuan keji, perlakuan tak senonoh dan berbagai macam kasus pelecehan seksual bahkan sampai tinggat kekejian seksual yang kerapkali kita dengar setiap hari dalam siaran berita.  Paradigma wanita itu lemah nampaknya masih terframe dalam benak masing masing wanita maupun pria, sehingga terkadang sebagian besar pria tidak mempercayakan beberapa hal kepada wanita dan wanita menggantungkan hidupnya dengan pasrah kepada pria.  Padahal tidak begitu seharusnya,  Allah ciptakan pria dan wanita tentu dengan hak dan kewajiban masing masing.  Keduanya diciptakan untuk bisa saling melengkapi satu sama lain. Namun, peran sentra seorang pria yang berkewajiban mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya dan wanita/istri yang berkewajiban mengurus rumah tangga menciptakan stereotype masyarakat tentang ruang lingkup sang istri yang sempit yakni terbatas kepada “Dapur, Sumur dan Kasur”.
Lalu, siapa yang patut disalahkan.  Kali ini kita tak akan mencari siapa oknum yang musti bertanggungjawab atas keadaan  ini karena kita tak akan melakukan penghakiman.  Namun, kita akan berangkat dari diri wanita itu sendiri.  Stereotype yang terbentuk dan warisan traumatic history yang menyebabkan sikap pasrah lan nrimo kaum hawa ini menyebabkan matinya bakat alamiah dan potensi yang sebenarnya dimilikinya.  Berikut akan kita bahas betapa begitu besar dan mahadahsyatnya peran seorang wanita.
Tanggung Jawab dan Peran
Berbicara mengenai tanggungjawab dan peran seorang wanita, tentunya yang utama adalah bagaimana ia dapat mengurus, mengelola sekaligus menjadi manager untuk keluarganya.  Seoran wanita/Ibu merupakan madrasah bagi anak-anaknya, jika madrasah itu baik maka baiklah generasi didalamnya dan begitu pula sebaliknya, bila generasi itu buruk maka buruk pula generasi didalamnya.  Luar biasa bukan ketika seorang Ibu menjadi patokan sebuah kebaikan atau keburukan bagi keluarganya. Selain itu, baik buruk suatu negara dapat ditentukan oleh baik buruknya kaum wanita atau lebih kita khususkan sang istri.  Tentunya para pembaca yang budiman sangat hafal bagaimana kisah Fir’aun dan Nabi Luth a.s.  disini tak akan dibahas kembali bagaimana kisahnya, penulis hanya akan menyoroti kepada masing masing istri keduanya. Dalam sejarahnya keduanya (istri fir’aun dan istri nabi Luth) memiliki karakter yang bertolak belakang. Kejam dan bengisnya Fir’aun dimasa pemerintahannya dengan membunuh setiap bayi laki laki yang lahir hanya karena takut jika ada yang mampu menyaingi dirinya dan menjadi musuhnya, namun melalui keshalihahan istri Fir’aun selamatlah Nabi Musa a.s. dan bahkan diizinkan tinggal bersama dengan keluarga Fir’aun yang pada akhirnya Fir’aun binasa dengan kekafirannya dan selamatlah nabi Musa a.s. beserta umatnya.  Sedangkan Nabi Luth a.s. sesosok Nabi yang dengan begitu gigih mendakwahkan ke-Esa an Allah SWT, mengajak keluarga dan umatnya untuk menyembah hanya kepada Allah SWT, meninggalkan perbuatan tak senonoh yakni homo dan lesbian yang menjadi kebiasaan umatnya masa itu.  Namun, tak ada hasil yag didapatkannya, disebabkan istrinya yang buruk perangainya bahkan bisa dikatakan jahat maka gagallah dakwah beliau kepada keluarga dan juga umatnya.  Sang istri tak memberikan faedah sama sekali.  Dua kisah diatas begitu menarik sekali bagi penulis, betapa keberadaan seorang istri sangat setrategis dalam menentukan keluarganya bahkan masyarakat luas.  Maka tak salah ketika Ibu Negara kita Ani Yudhoyono mendapatkan penghargaan sebagai Ibu negara yang baik.  Dari sinilah kaum wanita mulai harus membuka mata, open her eyes, bahwasannya dunia terlalu sempit jika ia hanya berkutat pada urusan dapur saja.  Begitu luas kiprah yang bisa di mainkan oleh kaum wanita. Karena wanita sesungguhnya memiliki potensi besar dalam berkontribusi membentuk masyarakat yang  madani.
Yang harus kita munculkan dewasa ini adalah bagaimana kaum wanita menemukan kembali kesadaran dan potensi dirinya.  Sehingga akan terbentuk madrasah madrasah keluarga yang sholeh/hah yang bermuara kepada kelahiran masyarakat madani.  Wallahua’lam Bisshawab.

Natar, 09 Desember 2011
Ukhty Muthye

Tidak ada komentar:

Posting Komentar